Alan Sastra Ginting dan Tentang Ketangguhan Mental

 

NPC-Provsu, Medan. Sudah sejak 2005 silam Alan Sastra Ginting mengikuti ASEAN Para Games (APG). Itu empat tahun sejak perhelatan untuk atlet disabilitas se-Asia Tenggara ini pertama kali digelar di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 2001.

Atlet para-atletik kelahiran Pancur Batu, Deli Serdang, 27 Desember 1980, itu senantiasa mempersembahkan medali emas ASEAN Para Games sampai edisi terakhir 2017 sebelum APG Solo 2022. Sungguh rentang waktu yang panjang. Dua belas tahun!

Kini, lima tahun sejak terakhir kali dikalungi medali emas di Kuala Lumpur pada 2017, Alan Sastra kembali menantang semua lawan untuk meruntuhkan dominasinya dalam para-atletik, khususnya lempar cakram.

photo

Rabu, 2 Agustus 2022, dalam usia 42 tahun, Alan yang sejak beberapa waktu terakhir memutuskan fokus kepada lempar cakram ini belum tergantikan dan kembali mempersembahkan medali emas kepada Indonesia dalam APG 2022 di Solo. Alan memperoleh medali emas dengan lemparan sejauh 40,15 meter.

Di Kuala Lumpur pada 2017, para-atletik Indonesia merebut 40 keping medali emas untuk menyandang predikat juara umum para-atletik. Jumlah medali emas sebanyak itu melampaui target 36 medali emas.

Kini, 78 atlet para-atletik Indonesia, termasuk Alan, siap meneruskan dominasi dalam APG 2022 Solo. Daya tahan Alan yang juga ketua National Paralympic (NPC) Sumatra Utara itu untuk tetap berada di level tertinggi kompetisi termasuk luar biasa.

Alan bisa jadi salah satu atlet-para fenomenal yang dimiliki Indonesia. Dia bisa begitu lama bertahan di puncak dan tak mau berhenti melemparkan cakram dan melontarkan peluru dalam 17 tahun terakhir, termasuk pada ajang Asian Games dan Pekan Paralimpiade Nasional atau Peparnas.

Alan tak pelak menjadi satu dari banyak “superhuman” Indonesia yang tetap bersinar walau usia sudah berkepala empat. Atlet-atlet penyandang disabilitas sering dilabeli predikat superhuman atau manusia super. Itu karena cara mereka menjadi juara yang istimewa. Mereka melakukan semua itu sembari berjuang dalam kondisi fisik terbatas yang bagi kebanyakan manusia adalah rintangan, yang bahkan ketika zaman kegelapan lalu disebut sebagai aib.

Saat ditanya apa yang membuat dirinya mendominasi arena maraton dunia untuk kaum difabel, atlet para asal Swiss, Marcel Hug, dalam sebuah kesempatan mengungkapkan dua dari banyak hal yang membuatnya memiliki daya tahan tinggi untuk terus berprestasi di banyak arena. Pertama, “Anda harus keras kepada diri sendiri dan tidak berhenti manakala lelah, sebaliknya terus melangkah semakin jauh, jangan pernah menyerah.”

Aspek itu harus menjadi kerangka berpikir yang tertanam dalam diri atlet disabilitas. Kedua, kekuatan mental. Bagi Hug, kekuatan mental adalah hal paling penting yang membuatnya terus bertahan.

Marcel Hug adalah juara lari kursi roda kategori T54 dalam Olimpiade Musim Dingin London 2014. Dia juga berjaya dalam berbagai arena, dari Berlin sampai Boston, New York, Oita, dan Seoul. Dia sudah tiga kali juara dunia lari 10 km T54 dan pemegang rekor dunia nomor ini dengan waktu 19 menit 50,64 detik.

Apa yang diyakini Hug itu sangat mungkin sama dengan apa yang mendasari Alan Sastra agar tetap memuncaki arena atletik APG. Namun, yang mungkin paling menarik dari aspek yang mendorong atlet disabilitas terus berada di puncak performa adalah kekuatan mental. Aspek itu sering digunakan untuk menjelaskan mengapa seorang atlet konsisten menorehkan hasil terbaik.

Inilah salah satu aspek menarik dari kompetisi antaratlet disabilitas, termasuk selama APG 2022 di Solo. Ajang ini bukan hanya tentang kompetisi untuk berebut medali. Akan tetapi perjuangan melahirkan rasa bangga dalam diri atlet dan tempat serta masyarakat asalnya.

Ajang ini pun menjadi media dan sekolah dari mana masyarakat Asia Tenggara umumnya, dan Indonesia khususnya, memetik pelajaran dan memperoleh referensi mengenai cara mengembangkan mental yang tangguh agar bertahan dan mencapai hasil terbaik dalam hidup.

 

Sumber : republika.id